Obrolan

Peradi Perlu Rumuskan Sanksi Constitutional Disobedience

Kamis, 25 Maret 2021 : 14:16
Ilustrasi gedung Mahkamah Agung. (Foto: Beritasatu Photo/Ruht Semiono)

Jakarta, Beritasatu.com - Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) masih harus berjuang keras untuk memosisikan diri sebagai wadah tunggal. Terlebih setelah sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak digubris Mahkamah Agung (MA), di antaranya terkait wadah tunggal.

Mantan Panitera MK, Prof Zainal Arifin Hoesain menjelaskan, perlu perubahan soal perintah atau amar agar MA tunduk melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

"Biar tidak bisa constitutional disobedience (pembangkangan terhadap konstitusi), sehingga perlu adanya pengaturan constitutional court," kata Zainal dalam diskusi virtual bertajuk "Constitutional Disobedience", yang digelar Peradi, di Jakarta, Selasa (23/3/2021).

Dirinya pun meminta Peradi di bawah Ketum Prof Otto Hasibuan bisa mendorong pengaturan constitutional disobedience dalam peraturan perundang-undangan. Saat ini, dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya diatur Putusan MK sebagai tindak lanjut dalam materi peraturan perundang-undangan.

Hanya saja jika tidak dilaksanakan, Peradi sebagai advokat yang memiliki ide besar dalam hukum, harus memberikan ide tentang bentuk sanksi apabila terjadi constitutional disobedience terhadap Putusan MK, baik itu berupa contempt of court atau pelanggaran sumpah jabatan.

Zainal mengatakan, putusan MK terkait Peradi sebagai wadah tunggal organisasi harus ditegaskan kembali dalam regeling (peraturan perundang-undangan). Sehingga harapannya apabila Peradi sebagai wadah tunggal telah ditegaskan dalam regeling (pengaturan) maka sebaiknya ada pengaturan spesialisasi dari anggotanya sehingga tetap menjaga profesionalitas dan kualitas.

Adapun untuk memberikan sanksi atas pembangkangan konstitusional, menurut Zainal, setidaknya bisa dilakukan melalui dua cara. Pertama, penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) dan kedua, dari sisi sumpah jabatan.

Opsi lainnya, yakni seperti yang biasa dicantumkan dalam undang-undang. Jika sampai 30 hari presiden tidak mau mengundangkan maka dengan sendirinya hukum yang sudah disepakati menjadi UU dengan nomor tersendiri.

Ketum DPN Peradi, Otto Hasibuan, menilai, advokat sebagai guardian of constitution harus mengambil bagian dalam persoalan constitutional disobedience. Salah satunya putusan MK yang menyatakan bahwa Peradi adalah satu-satunya wadah tunggal.

Akan tetapi pada kenyataannya MA tidak menaati putusan MK tersebut. Oleh karenanya advokat dalam mengawal konstitusi tetap harus tampil paling depan karena sejak dahulu merupakan pengawal konstitusi.

"Setelah diskusi ini Peradi akan lanjutkan dengan webinar lebih besar untuk memperkaya ide-ide bagaimana menyelesaikan constitutional disobedience," kata Otto Hasibuan.

Sumber : beritasatu.com

Copyright © 2021 peradisukoharjo.com All Rights Reserved