Diskusi daring yang digelar DPN Peradi bertajuk 'Diskusi Konstitusi: Constitutional Disobedience', Selasa (23/3/2021). Foto: RFQ |
Istilah constitutional disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi kerap menjadi perbicangan publik. Pengabaian terhadap putusan pengadilan atau Mahkamah Konstitusi (MK) salah satu bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat kepatuhan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan terutama putusan MK bagi pihak yang dituju atau pemangku kepentingan. Padahal menjadi kewajiban bagi siapapun melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat (final and binding).
Mantan Panitera MK, Prof Zainal Arifin Hoesin mengatakan pembangkangan konstitusi masih saja terjadi lantaran sejumlah putusan pengadilan (PTUN) atau putusan MK diabaikan. Dia melihat putusan peradilan Tata Usaha Negara (TUN) yang paling banyak diabaikan oleh pihak yang kalah dalam berperkara.
“Bagaimana kalau tidak menjalankan putusan? Kapan harus dijalankan? Kalau putusan peradilan pidana dan perdata ada tenggat waktu,” ujar Zainal Arifin Hoesin dalam diskusi daring yang digelar DPN Peradi bertajuk “Diskusi Konstitusi: Constitutional Disobedience”, Selasa (23/3/2021).
Menurutnya, dalam regeling (peraturan) tak terdapat batasan waktu putusan pengadilan harus dijalankan para pihak. Tapi, dalam UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, salah satu landasannya adalah putusan MK yang mesti segera ditindaklanjuti. Menjadi persoalan ketika putusan pengadilan tak ditindaklanjuti. Padahal, setiap putusan pengadilan merupakan hukum yang mengikat bagi semua pihak. Bahkan wajib ditaati sepanjang belum dibatalkan oleh lembaga peradilan di atasnya.
Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Assyafiiyah (UIA) itu menilai meskipun belum adanya kejelasan pengaturan akibat pengabaian terhadap putusan pengadilan, tapi dapat dikategorikan sebagai perbuatan pelanggaran atau pelecehan terhadap pengadilan atau contempt of court. “Ya, keengganan melaksanakan putusan pengadilan dapat dikategorikan dalam perbuatan contempt of court. Berarti penghinaan terhadap pengadilan,” kata dia.
Ini sama halnya ketika UU yang telah diundangkan dalam lembaran negara keberlakuannya bersifat mengikat bagi setiap warga negara. Menurutnya, idealnya dalam setiap amar putusan mencantumkan perintah pelaksanaan putusan dalam jangka waktu tertentu agar mudah dipantau pelaksanaannya.
Sebab, hingga saat ini belum adanya penelitian berapa total jumlah putusan MK dan atau peradilan TUN yang sudah ditindaklanjuti atau tidak ditindaklanjuti pemangku kepentingan. Misalnya, jumlah putusan MK yang telah ditindaklanjuti dengan merevisi sebuah UU oleh pemerintah dan DPR dan jumlah putusan MK yang tidak dilaksanakan oleh pembentuk UU.
Partner pada Kariem & Partner Law Firm ini menegaskan pembangkangan terhadap putusan pengadilan sama halnya dengan pembangkangan konstitusi. Ia merujuk Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Baginya, rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 melatih dan mendidik masyarakat agar patuh terhadap hukum. “Bagaimana bentuk pembangkangan, apakah perlu sanksi?”
Menurutnya, pembangkangan konstitusi akibat adanya ketidakpuasan terhadap kebijakan negara yang tetap tidak dilaksanakan. Selain itu, ketiadaan pengaturan mekanisme constitusional complaint dalam hukum acara MK bisa menimbulkan dugaan pembangkangan konstitusi yang seharusnyabisa diputuskan oleh MK sebagai kontrol. “Kalau nanti ada perubahan UUD Tahun 1945 kelima, bagus juga ini sebagai kontrol terhadap lembaga lain. Di sini ada peran advokat.”
Untuk itu, ke depan bagaimana negara membuat kebijakan agar setiap warga negara dan lembaga negara taat terhadap putusan pengadilan sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum disertai sanksinya. Misalnya, tindakan yang paling memungkinkan sebagai bentuk sanksi bagi warga negara yang melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dengan menerapkan aturan contempt of court.
Kemudian contempt terhadap sumpah dan jabatan bagi pejabat pemerintah/negara. Sebab, dalam setiap sumpah jabatan mereka berjanji memegang teguh dan melaksanakan peraturan perundang-undangan dan UUD 1945 dengan selurus-lurusnya. “Menjadi soal ketika institusi yang melakukan pembangkangan terhadap konstitusi. Bagaimana cara memaksanya, ini belum ketemu (formulasinya, red)?”
Sementara Ketua Umum DPN Peradi, Otto Hasibuan melihat constitusional disobedience menjadi persoalan serius, khususnya bagi advokat. Dia menilai terdapat pembangkangan ketidaktaatan terhadap putusan MK. Tentu saja advokat sebagai profesi officium nobile seharusnya menjadi garda terdepan pengawal konstitusi. Dia mewanti-wanti agar advokat terus menyuarakan kebenaran dan membela konstitusi.
“Apabila advokat di negara hukum tidak berani menyuarakan atau membela konstituisi, maka negara itu bukan negara hukum. Kita sebagai pengawal konstitusi sering mengalami adanya pembangkangan konstituisi,” kata Otto dalam kesempatan yang sama.
Dia mencontohkan MK telah memberi putusan yang menyatakan Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat yang sah dibentuk berdasarkan UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Bahkan disebut pula Peradi sebagai organ negara. Begitu pula penyumpahan advokat hanya boleh dilakukan oleh Peradi. Namun faktanya terdapat organisasi lain yang melakukan kewenangan serupa. “Apakah ini bisa dikatakan sama dengan pembangkangan konstitusi?”
Sumber : hukumonline.com