Obrolan

DPC Peradi Surakarta Gelar FGD Menyoal Permenristekdikti Tentang Program Profesi Advokat

Sabtu, 13 Juli 2019 : 14:40
Peserta FGD yang digelar DPC Peradi Surakarta di Hotel Syariah, Solo, Jum'at (12/2019)
SOLO - Persaingan hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dihadpkan pada benturan-benturan kepentingan yang bermuara kearah terjadinya sengketa dan perselisihan. Hal ini karena kehidupan manusia diatur oleh kaidah atau norma hukum.

Dalam kasus tersebut, disinilah peran advokat sebagai salah satu penegak hukum sangat penting, seiring dengan kesadaran hukum masyarakat dan kompleksitasnya permasalahan hukum yang dihadapi oleh masyarakat.

Sangatlah perlu ditanamkan bahwa advokat merupakan suatu bentuk profesi yang terhormat (officium nobile). Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan.

Menjalankan profesi advokat harus memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian yang berpegang teguh kepada kejujuran, kemandirian, kerahasiaan dan keterbukaan, guna mencegah lahirnya sikap-sikap tidak terpuji dan berperilaku tidak terhormat.

Pasal 3 angka 1 huruf ( f ) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat menyatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi seorang Advokat maka harus memenuhi syarat lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Surakarta, Badrus zaman dalam Forum Grup Discussion (FGD) mengangkat tema tentang Peraturan Menteri Ristekdikti (Permenristekdikti) Nomor 5 Tahun 2019 yang dinilai bertentangan dengan Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA).

"Kita ketahui bersama bahwa selama ini PKPA dan Ujian Profesi Advokat (UPA) diselenggarakan oleh perhimpunan atau organisasi advokat. Salah satunya Peradi. Namun setelah dikeluarkannya Permenristekdikti ini wewenangnya diambil alih oleh Perguruan Tinggi (PT) berakredetasi minimal B," sebutnya.

Melalui FGD yang digelar di Hotel Syariah, Solo pada Jum'at (12/7/2019) ini, Peradi membedah Permenristekdikti tersebut, tepatnya pada Pasal 3, 4, dan 5, yang menyatakan bahwa untuk menjadi seorang advokat, maka harus menempuh pendidikan PPA selama dua semester atau satu tahun dan paling lama selama enam semester atau tiga tahun.

Selain itu, calon advokat harus menempuh 24 satuan kredit semester (SKS) dan wajib memperoleh Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3.00. Setelah lulus, calon advokat akan menyandang gelar profesi advokat yang diberikan oleh perguruan tinggi.

"Aturan (Permenristekdikti) itu bertentangan dengan UU yang telah mengatur tentang PKPA yang menjadi salah satu syarat yang harus ditempuh untuk bisa menjadi seorang Advokat," ujar Badrus.

Didalam UU Nomor 18 Tahun 2003 di Pasal 2, dan 3 jelas disebutkan, telah mengatur bahwa setelah menempuh PKPA, calon advokat harus mengikuti UPA yang diselenggarakan oleh organisasi advokat dan dinyatakan lulus ujian.

"Setelah lulus ujian, syarat dapat disumpahnya untuk diangkat menjadi advokat adalah minimal harus berumur 25 tahun," jelas Badrus. Akibat dari adanya peraturan tersebut, Badrus menyebut beberapa organisasi dan perhimpunan advokat mengajukan judicial review.

Seharusnya peraturan dalam mencetak advokat berasal dari organisasi advokat itu sendiri, sehingga organisasi advokat tetap memiliki peran dalam menghasilkan kualitas advokat nantinya.

"Selain itu seharusnya permenristekdikti itu tidak bertentangan dengan UU. Bagaimanapun dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU masih lebih tinggi dari Peraturan Menteri," pungkasnya. (Djy)
Copyright © 2021 peradisukoharjo.com All Rights Reserved