Obrolan

Resolusi Advokat 2019

Senin, 11 Februari 2019 : 21:51
Al Ghozali Wulakada  (Advokat dan Analis Hukum)
SOLO- Pada hari Jum'at, 1 Februari 2019, Ketua Dewan Pembina dan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan, hadir di Kota Solo sebagai narasumber dalam diskusi bertema "Resolusi Advokat 2019". Dalam kalimat berbeda, bisa juga disebut "Qua Vadis Advokat Indonesia".

Resolusi mengandung dua makna yaitu ; Pertama, resolusi merupakan kesamaan fikiran, kebulatan kata dan kesatuan pendapat untuk melakukan penututan terhadap hal yang pernah disepakati. Kedua, resolusi merupakan upaya sistematis untuk mencapai mimpi, dan atau cita - cita bersama.

Jika kedua makna itu disatukan, maka resolusi bermakna "hijrah" atau peralihan menuju babak baru yang lebih berkualitas dari sebelumnya.

Poin ke satu tentang resolusi sebagai tuntutan terhadap berlakunya kesepakatan, mengandung dua tuntutan penting ; (1) Menuntut komitmen dan keseriusan Presiden sebagai pelaksana hukum tertinggi didalam menegakkan hukum yang berkeadilan, tidak tebang pilih karena alasan strata sosial ekonomi dan afiliasi politik.

Prinsip equality before the law (kesamaan hak di dalam hukum) telah terabaikan. Padahal hal tersebut merupakan syarat utama dalam supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Jadi, belum lagi pemerintah menyelesaikan masalah dan kasus - kasus HAM yang tertunda, kini pemerintah justru membiarkan pelanggaran HAM baru terjadi dalam penegakan hukum.

Selanjutnya (2), menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar mengaktifasikan fungsi legislasinya dalam mempercepat perubahan atau pembaharuan hukum terhadap sejumlah UU yang telah mendapat putusan final dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Kemudian (3), menuntut partisipasi aktif kedelapan organisasi advokat di Indonesia untuk segera melakukan rekonsiliasi informal dalam rangka membentuk satu organisasi advokat saja di Indonesia (Psl 32 a.3 UU No. 18 Thn 2003)

Membentuk satu wadah organisasi advokat yang sah di Indonesia itu merupakan perintah UU sejak diundangkan pada tahun 2003 sampai sekarang. Namun hal itu belum terwujud.

Kelambatan tersebut disebabkan dua faktor ; (a) Tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk memfasilitasi pembentukan organisasi tunggal advokat. (b) Masing - masing organisasi advokat dan atau anggota advokat masih berbeda faham terkait masakah tersebut. 

Ada sebagian beranggapan bahwa penyatuan organisasi advokat melanggar UUD 1945 pasal 28E ayat 3 tentang hak konstitusi warga negara untuk berorganisasi. Namun demikian perlu diketahui bahwa organisasi advokat ini berbeda dengan kebanyakan organisasi yang lain di Indonesia.

Organisasi advokat merupakan salah satu organ dari penegak hukum (Law Enforcer) yang memiliki tanggung jawab hukum terhadap hak - hak kepastian hukum masyarakat ( Institution Of Rights). Kepastian tersebut mencakup organisasi, standar kompetensi, standar operating system dalam layanan dan jasa hukum yang berlaku satu sebagaimana penegak hukum lainnya di Indonesia.

Pasal 28 F UUD 1945 juga perlu menjadi perhatian, bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Publik juga memilki hak mendapatkan informasi hukum dari advokat (agent of justice) yang benar dan berkualitas.

Beberapa poin tersebut menjadi catatan penting dalam diskusi 'Resolusi Advokat 2019'. Selanjutnya kita menunggu komitmen Presiden dan organisasi advokat. (Al Ghozali Wulakada)
Copyright © 2021 peradisukoharjo.com All Rights Reserved