Oleh ; M. Badrus Zaman, SH.
Ketua PERADI Surakarta
Negara Hukum Indonesia jelas bukan sekedar kerangka bangunan formal tapi lebih daripada itu ia merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan norma-norma, seperti, kebersamaan, kesetaraan, keseimbangan, keadilan yang sepakat dianut bangsa indonesia.
Nilai-nilai luhur itu berasal dari berbagai sumber seperti, agama, budaya, Social, serta pengalaman hidup bangsa Indonesia. Permasalahan Penegakan hukum (Law Enforcement) senantiasa menjadi persoalan menarik banyak pihak.
Terutama karena adanya ketimpangan interaksi dinamis antara aspek hukum dalam harapan atau Das Sollen, dengan aspek penerapan hukum dalam kenyataan atau Das Sein. Bilamana ketimpangan interaksi terus berlangsung, maka penegakan hukum pada umumnya kurang dapat mencerminkan wujud keadilan yang dicita-citakan.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukan suatu penegakan hukum sebagai upaya-upaya untuk melakukan perencanaan pembentukan peraturan hukum (legal planning), pengkordinasian (coordinating), penilaian (evaluating), dan pengawasan (controlling) dan pemantauan (monitoring) yang terukur terhadap kualitas produk hukum, institusi dan aparat penegak hukum, dan budaya hukum.
Menurut Socrates, sesuai dengan hakikat manusia bahwa hukum merupakan tatanan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu untuk kuat, bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri.
Hukum sejatinya, adalah tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum tadi. Oleh karena itu hukum dibangun, bukan untuk kepentingan oknum tertentu saja sebagaimana yang dimaksud oleh Socrates tesebut diatas.
Tetapi hukum itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan seluruh tatanan masyarakat terutama dalam hal melindungi setiap individu dalam masyarakat guna mencapai kesejahteraanya.
Hukum klasik merupakan suatu konsep hukum yang bersumber dari agama, alam dan adat kebiasaan dari suatu masyarakat yang telah ada dan berlaku sejak dimulainya suatu kehiduapan masyarakat sampai sekarang.
Prinsip dari teori ini mangatakan bahwa hukum merupakan seperangkat norma moral dan norma sosial yang berfungsi sebagai pengarah, sebagai kontrol dan merupakan ukuran terhadap perilaku manusia yang orientasinya adalah keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
Hal serupa juga yang menjadi pijakan para pendiri bangsa Indonesia untuk merumuskan sebuah konsep hukum yang nantinya dapat mengakomodir segela kepentingan masyarakat.
Para pendiri bangsa menyadari bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat, kebiasaan, dan kebudayaan yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri.
Olehnya itu pendiri bangsa ini berpandangan bahwa meskipun Indonesia merupakan Negara yang majemuk tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh dan menghargai perbedaan sebagai aset bangsa yang paling berharga.
Pancasila kemudian di jadikan sebagai solusi untuk memperkokoh perbedaan itu, dan pancasila kemudian dijadikan sebagai fondasi dan falsafah bangsa yang terintegrasi dan dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar itulah kemudian pancasila tidak hanya menjadi dasar suatu bangsa, tetapi juga dijadikan sebagai filosofi masyarakat Indonesia dalam bertingkah laku.
Pada era kemerdekaan pancasila ditanamkan sedini mungkin guna menjadikan masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang menganggap sama seluruh masyarakat Indonesia dan pemerintahaan dijalankan semata-mata untuk hajat hidup masyarakat Indonesia.
Musyawarah dijadikan sebagai media untuk mengambil keputusan sehingga kemanusiaan yang adil dan beradap benar-benar di posisikan sebagai patokan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun kemudian, pada masa kekinian (era demokrasi) pancasila itu hanya dijadikan sebagai dasar Negara yang tidak di implementasikan dalam proses pembentukan huku bahkan penanaman nilai-nilai pancasila pun tidak pernah dilakukan oleh pomerintah, guna meningkatkan rasa kepedualian dan kesadaran akan cinta tanah air Indonesia dalam suatu wawasan nusantara.
Dewasa ini, dalam pembangunanan dan pembentukan hukum terutama melalui pendekatan nilai Agama, etika dan moralitas yang ada dalam masyarakat tidak lagi dipahami sebagai satu aspek yang sangat fundamental, yaitu aspek yang terkait dengan persoalan teologi dan keinginan untuk pembentukan hukum yang dapat dilihat melalui doktrin-doktrin dan peribadatan, tapi lebih dari itu persoalan nilai-nilai tersebut seharusnya dapat didialogkan dengan persoalan pengembangan keilmuan, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum.
Sehingga tidak menjadi asing, dalam proses pembentukan hukum masa kekinian hanya berorientasi pada realitas dan mengikuti perkembangan masyarakata, dalam artian bahwa pembentukan hukum itu sendiri di sesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat dengan tanpa berpikir sejauhmana kebutuhan masyarakat akan hukum itu sendiri.
Bahkan dengan tidak memikirkan dampak dari pemberlakuan hukum itu sendiri dalam masyarakat, sebab hukum di bentuk untuk meligitimasi kehendak dari kelompok-kelompok tertentu (pihak pemerintah), olehnya itu hukum dibentuk hanya berdasarkan kesepakatan-kesepakatan sepihak yang diambil oleh mereka yang tergabung dalam lingkaran penguasa itu sendiri.
Aris toteles mengatakan bahwa hukum merupakan pembadanan dari akal dan terbebas dari nafsu, sehingga secara tidak langsung dapat kita katakan bahwa hukum merupakan suatu bentuk tatanan perdamaian yang dilandaskan pada keadilan yang memerintahkan orang untuk menahan diri dan menyerahkan penyelesaian sengketa kepada hakim.
Sehingga tanpa hukum pun keadilan dapat diperoleh baik itu keadilan yang bersifat distributive maupun keadilan yang bersifat korektif. Pada hakikatnya, suatu tatanan hukum dibangun dan dibentuk dengan tujuan untuk mengayomi dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang sasaran utamanya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Namun pada kenyataanya, dewasa ini hukum tidak lagi memberikan satu efek yang bermanfaat terhadap perkembangan kehidupan masyarakat apalagi menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat.
Pengadilan sesungguhnya tempat untuk mendistribusikan keadilan sebagai mana mestinya. Namun kemudian pengadilan bukan untuk mendapatkan keadilan melainkan untuk melakukan penghukuman kepada masyarakat yang sebenarnya merindukan keadilan itu sendiri.
Pengadilan hanyalah milik bagi mereka yang mempunyai kekuatan finansial, dan neraka bagi mereka kaum marginal yang tidak sama sekali memiliki finansial untuk mendapatkan keadilan. Sebab aturan hukum dibentuk untuk melanggengkan kekuasaan dan meraup sebesar-besarnya keuntungan.
Ketidak siapan Indonesia sebagai bangsa demokrasi sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya bangsa Indonesia. Disisi lain kita mengagumkan kebebasan, tetapi di sisi lainya tanggung jawab tidak dijadikan sebagai langkah bijak untuk menghadapi besar kecil dampak dari apa yang kita lakukan.
Setiap orang tidak bisa menilai ikhwal kehidupan hukum suatu bangsa secara terisolasi dari kaitanya dengan bidang atau sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Hal itulah kemudian yang dinamakan dengan perubahan social, modernisasi, industrialisasi, dan lain sebagainya.
Perubahan sosial tersebut dapat menimbulkan pergeseran-pergeseran serta perubahan dalam hubungan sosial yang ada, sehingga diperlukan usaha untuk mengatasi keadaan tersebut. Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa manusialah yang berkuasa di dunia ini, sebab yang mengeksploitasi dan mengoperasikan dunia ini adalah manusia.
Karena kekuasaan itulah maka manusia merupakan pusat atau sentral dari segala kehidupan di dunia ini. Maka dengan demikian, maka manusia merupakan pelaku atau subjek dan bukan alat atau objek. Manusia sebagai subjek karena manusia mempunya kepentingan di dunia ini, mempunyai tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi atau di laksanakan.
Karena manusia merupakan subjek, maka atas kekuasaanya itu manusia terkadang lupa akan posisinya sebagai makhluk yang mempunyai kelemahan dan membutuhkan makhluk lain untuk menjalankan hidupnya.
Kekuasaan yang amat dahsyat yang dimiliki manusia, ditambah dengan kemampuanya untuk berfikir dan menggunakan, rasa, cipta dan karsanya sehingga manusia mampu menciptakan budaya, adat, kebiasaan, dan hukumnya sendiri.
Apalagi ditambah dengan rasa ingin tahunya yang tinggi sehingga mengantarkan manusia kearah modernisme. Manusia yang modernisme ini kemudian membuat suatu gebrakan baru dalam bidang ekonomi, social, politik dan hukum.
Tetapi langkah-langkah yang diambil tersebut tak selalu mulus, bahkan menimbulkan turbelensi atau kekacauan dalam segala bidang, sehingga tak jarang, gebrakan yang dilakukan oleh manusia menimbulkan petaka bagi manusia itu sendiri.
Pergeseran pemahaman modernisasi dan demokrasi yang kemudian menjadi momok menakutkan bagi masyarakat Indonesia, sebab dengan demokrasi dan kebebasan yang tidak terbatas itu menjadikan perpecahan dan menciptakan system huru hara bagi masyarakat Indonesia.
Perilaku Aparat Penegak Hukum jauh dari etika dan moral, Mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Advokat dan Hakim beberapa waktu lalu terungkap kasus seperti Simulatorsim, kasus Hakim Agung Yamanie, dll.
Pengadilan dipercaya adalah tempat terakhir untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Namun kemudian semua itu kini sangat sukar untuk di percayai sebab faktanya keadilan hanya merupakan kesepakatan antara penguasa dan pemilik modal.
Ketidak berpihakan keadilan pada kaum marginal (miskin) sangat nyata dalam proses peradilan di bangsa ini, berbanding terbalik dengan mereka yang mempunyai kekuatan finansial. Mereka yang mempunyai kekuatan finansial mendapatkan posisi yang istimewa dalam proses persidangan di pengadilan.
Bahkan tak jarang mereka bebas atas dakwaan yang sebenarnya dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum. Contoh konkrit terjadinya diskriminasi dalam proses persidangan diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kasus yang menimpa masyarakat miskin
1. Pengadilan Negeri Sinjai menjatuhkan vonis 2 bulan 25 hari terhadap Rawi, kakek berusia 66 tahun yang menjadi terdakwa dalam kasus pencurian 50 gram merica. Keputusan itu dibacakan Ketua Majelis Hakim Raden Nurhayati, Kamis, 9 Februari 2012, di ruang utama PN Sinjai Sulawesi Selatan.
2. Herlina Koibur yang mengaku bersalah telah menerima tips Rp 3 juta dari pembuatan speedboat di Kabupaten Supiori, Papua. Namun sebagai PNS pemda itu dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta atas perbuatannya tersebut.
b. Kasus yang melibatkan penguasa dan konglomerat.
1. Korupsi pengadaan di kementerian ESDM, senilai Rp.131 miliar terdakwa dituntut 2 tahun penjara.
2. Kasus Mindo Rosalina Manullang yang dibui 2,5 tahun karena kasus korupsi lebih dari Rp. 9 miliar .
3. Kasus Nazarudin dibui 7 tahun karena kasus Wisma Atlet.
4. Kasus mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Hari Sabarno, dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran (Damkar) tahun 2003-2004 sebesar Rp 97,026 miliar yang juga dihukum 2,5 tahun.
Dari kedua bahagian kasus diatas membuktikan bahwa proses untuk mendapatkan keadilan melalui pengadilan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuatan finansial, atau bagi mereka yang mempunyai kedudukan penting dalam pemerintahan. Olehnya itu, sebuah kemustahilan bagi kaum marginal (miskin) untuk mendapatkan keadilan melalui pengadilan.
Kekeliruan dalam menafsirkan makna yang terkandung dalam asas demokrasi tersebut membuka ruang sebesar-besarnya terjadinya gejolak sosial yang terjadi dalam masyarakat, sehingga tak heran sepanjang tahun 2012 ini, “tawuran” menjadi sajian hangat pemberitaan di media massa, bahkan tindakan main hakim sendiri dan penganiayaan menjadi legal dan dibenarkan di Negara ini. Beberapa kejadian yang tidak mencerminkan bahwa Indonesia sebagai Negara hukum dan melukai rasa kemanusian diantaranya adalah:
1. Penyerangan terhadap pengikut ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten yang mengakibatkan 3 orang meninggal duani pada bulan Februari Tahun 2011.
2. Kasus Mesuji Sumatra Selatan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia di bulan April tahun 2011. Karena sengketa lahan antara masyarakat dan pemilik modal (pengusaha).
3. Masalah geng motor dan tawuran antara kampung, kelompok, dan suku sepanjang tahun 2012.
4. Tawuran antara sesama mahasiswa Universitas Negeri Makassar yang mengakibatkan 3 orang meninggal dunia dibulan Oktober 2012. Dan sejumlah tawuran dikalangan pelajar diseluruh Indonesia sepanjang tahun 2012.
5. Pengerusakan dan pelemparan bom molotove di Masjid dan rumah pimpianan Lembaga Pengkajian Pendalaman Al Qur’an Tauhid Solo sekitar bulan Oktober 2012
Dari kelima kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari segudang masalah yang menimpa Negara ini. Seakan menunjukan bahwa kita bukanlah sebagai Negara hukum melainkan Negara dengan paham yang selalu mengutamakan penyelesaian masalah dengan jalan konflik, untuk mempertontonkan kekuasaan, kekuatan dan kekerasan.
Oleh karena itu, reformasi dibidang hukum dan pemerintah menjadi penting serta penanaman konsep Negara demokrasi pada masyarakat sangat diperlukan. Karena apabila kurangnya pemahaman akan konsep Negara domkrasi, ditambah dengan ketimpangan dan diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat baik dalam bidang ekonomi, politik, social, dan hukum, maka sebenarnya Negara demokrasi yang kita agung-agungkan ini telah mengarahkan masyarakat Indonesia satu langkah menuju Negara dengan sistem barbar.
Untuk itu kesadaran hukum harus benar-benar dijalankan dan diimplementasikan dalam segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan demokrasi pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia dan harus ditanamkan sedini mungkin dan masalah yang paling mendasar pada era demokrasi saat ini adalah diskriminasi sosial yang terjadi dalam masyarakat, sebagai lemahnya sistim hukum dan rapuhyna aparat penegak hukum itu sendiri, untuk itu perlu di benahi dalam mewujudkan jiwa nasional dengan cara yaitu :
1. Aparat penegak hukum harus dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga negara serta mengeliminasi setiap usaha segelintir orang atau kelompok untuk mendapatkan keistimewaan dan pengecualian.
2. Pemerintah harus dapat mengembangkan dan menciptakan kehidupan demokratis yang menjunjung tinggi rule of law,
3. Hukum sebagai panglima, dalam pelaksanaan kebijakan politik yang didasarkan pada supremasi hukum.
4. Menjamin kesetaraan setiap individu dalam negara di depan hukum.
5. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dalam rangka ikut berpartisipasi dalam proses penegakan hukum yang adil dan politik reformasi hukum, dll.
Semoga tulisan ini memberikan cakrawala baru dalam ikut serta mengaktualisasikan budaya hukum guna mewujudkan generasi yang berjiwa nasional di era demokrasi.