Seolah tidak habisnya, wacana hubungan Islam dan Negara masih menjadi bahan perbincangan menarik termasuk dalam studi perbandingan hukum. Dalam konteks Indonesia yang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler, salah satu pertanyaannya adalah “mungkinkah hukum pidana Islam dapat diberlakukan sebagaimana aspek hukum Islam di bidang keperdataan telah berlaku di Indonesia selama ini?”
Sebagian orang akan menolak mentah-mentah berbagai gagasan soal hukum pidana Islam dalam hukum nasional. Penolakan ini bisa jadi sama kuatnya dengan penolakan mereka terhadap komunisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Akan tetapi, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso berpendapat sebaliknya bahwa gagasan tersebut sangat relevan dan ilmiah jika ditinjau secara jujur dan objektif. “Sebagai satu bidang kajian, mestinya kita tidak boleh alergi.
Kalau kita bicara studi perbandingan, objektif, bicarakan semuanya, Islamic law sebagai keluarga hukum sama seperti civil law dan common law,” katanya kepada hukumonline. Topo Santoso meluncurkan bukunya, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Kamis (12/10) pekan lalu.
Wakil Rektor UI, Hamid Chalid, berpendapat ada keunikan hukum pidana Islam, yakni memberikan keleluasaan pemidanaan kepada pemegang kekuasaan legislatif dan yudikatif.
Bahkan hanya ada 10 klasifikasi tindak pidana yang telah ditetapkan Al Quran secara rigid bentuk hukumannya meliputi hudud dan qisas. Selain dari itu masuk dalam klasifikasi ta’zir yang pemidanaannya dapat disesuaikan dengan kemaslahatan terbaik sesuai konteks waktu dan tempat.
Jika ditinjau dari konstitusi, kata Hamid, gagasan hukum pidana Islam sangat relevan dengan dasar negara Pancasila. Gagasan ini tidak bisa disamakan dengan komunisme yang bertentangan terhadap konstitusi serta dasar negara Pancasila.
Dalam konsep berketuhanan Yang Maha Esa, peluang kehadiran hukum pidana Islam dalam hukum nasional terbuka lebar. Menurut dia, hukum pidana Islam merupakan hukum yang paling ketat serta berhubungan langsung dengan filosofi dan tujuan utama berdirinya negara yaitu menciptakan ketertiban sosial.
Hukum pidana Islam yang bersifat transenden bersumber dari Tuhan mengalami stigmatisasi akibat fobia kalangan tertentu di masyarakat. “Berkaitan dengan sekularisme dan atheisme yang ingin menolak apapun yang datangnya dari Tuhan,” kata Hamid.
Oleh karena itu, Hamid berpendapat gagasan hukum pidana Islam tidak perlu dipertentangkan dengan konstitusi karena sepenuhnya persoalan politik hukum. “UUD 1945 menegaskan Kedaulatan Tuhan yang diimplementasikan pada Kedaulatan Hukum.
Tidak Perlu mengubah konstitusi, diletakkan saja dalam diskusi di parlemen dalam kerangka demokratis,” paparnya. Secara sederhana Hamid mengajak untuk mengabaikan dulu bahwa konsep hukum pidana Islam berasal dari ajaran agama Islam.
Jika dirasakan manfaatnya, seharusnya tidak akan ditolak dengan isu politisasi agama dan semacamnya. Tantangan terbesar yang harus diselesaikan jika ingin menerapkan hukum pidana Islam dalam hukum nasional menurut Hamid adalah stigmatisasi di masyarakat disamping political will para pemimpin negara.
“Persoalannya stigmatisasi, cuma itu. Kita pilih anggota DPR untuk membuat aturan-aturan hukum yang terbaik menurut kita,” pungkasnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Neng Djubaedah, menilai meskipun kajian ilmiah dalam buku Topo mampu menjelaskan manfaat hukum pidana Islam bagi penegakan kedaulatan hukum nasional, masih diperlukan waktu yang panjang.
Langkah-langkah agar gagasan hukum pidana Islam bisa dipahami dengan jernih harus dilakukan bertahap. Salah satunya dengan memasukkan konsep-konsep umumnya dalam setiap pembentukan perundang-undangan.
Di acara yang diselenggarakan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FH UI ini Topo mengetengahkan objektivitas akademiknya sebagai seorang ilmuwan hukum pidana. Ia menyadari bahwa islamofobia yang berasal dari dunia Barat masih kuat mewarnai diskursus ilmu hukum khususnya hukum pidana.
Padahal, dari sisi keilmuan banyak konsep hukum Islam dalam bidang perdata dan pidana sama dengan konsep yang dipraktekkan keluarga hukum Barat.
“Banyak sekali aspek pidana Islam yang tidak digali, banyak sekali hal bagus dalam hukum pidana Islam tidak dikenal, tidak diakui, padahal itu menjadi inspirasi bagi banyak negara dalam bidang hukum pidana,” jelasnya.
Misalnya saja konsep restorative justice yang berfokus pada pemulihan korban ketimbang sekadar menghukum pelaku. Topo melihat teori hukum pidana Barat mulai memperhatikan hak-hak korban dalam peradilan pidana, padahal konsep itu sudah lama dikenal dalam konsep hukum pidana Islam.
Tidak semata diambil alih oleh negara, dalam konsep hukum pidana Islam keputusan untuk memberi maaf, meminta pembayaran denda, atau melanjutkan proses pidana diserahkan kepada pihak korban dalam perkara pidana.
“Karena datangnya dari Barat, ‘wah bagus ini, korban diberi tempat dalam proses peradilan’, coba datangnya dari hukum pidana Islam, langsung tidak diakui,” kata Guru Besar yang juga tengah menjabat Dekan FH UI ini sambil tertawa. (sumber: http://www.hukumonline.com)