Penulis: Sri Bintang Subari P, S.H (Advokat Muda MBZ Keadilan Surakarta )
Globalisasi telah merekonstruksi Lembaga Pemasyarakatan sebagai salah satu wahana yang dapat berperan dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia (HAM) bagi narapidana, terutama dalam pelaksanaan hak-hak narapidana melalui pendekatan kajian yang bersifat substansia, structural, dan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap narapidana.
Hal ini telah menjadi perhatian semua Negara termasuk Indonesia. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan bukan semata persoalan peraturan perundang-undangan yang perlu pembenahan, tetapi juga menyangkut aspek sarana prasarana, Pidana penjara pada dasarnya merupakan hukuman berupa pencabutan hilang kemerdekaan terhadap pelaku tindak pidana yang dilaksanakan dengan cara membatasi kebebasan seseorang ke dalam suatu tempat yang disebut penjara.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya tanggal 27 April 1964, pelaksanaan pidana penjara dengan cara pemenjaraan di dalam suatu ruangan tertutup diganti dengan sistem pemasyarakatan, sistem pemasyarakatan lebih menekankan pada resosialisasi, reedukasi, reintegrasi, yang berarti lebih mengedepankan hak-hak asasi manusia warga binaan pemasyarakatan.
Sejak lahir di dunia manusia telah bergaul dengan manusia lain di dalam suatu wadah yang bernama masyarakat, mula-mula dia berhubungan dengan orang tuanya dan semakin meningkat umurnya, semakin luas pula daya cakup pergaulanya dengan manusia lain di dalam manusia tersebut, lama-kelamaan dia menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban yang dialami dan dihadapinya merupakan hasil pengalaman masa-masa yang silam.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, hukum berkembang mengikuti setiap kebutuhan manusia, hukum terus mengalami perubahan untuk memperbaiki segala segi kehidupan manusia demi terwujudnya tujuan nasional sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diamanatkan kepada Bangsa Indonesia yang merupakan salah satu tujuan Negara Republik Indonesia yaitu untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tak terkecuali di dalam sistem kepenjaraan di Indonesia.
Sistem kepenjaraan telah mengalami perubahan karena dianggap tidak sesuai dengan sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Menurut Koesno, pidana penjara baru dikenal di Indonesia ketika VOC memperkenalkan lembaga “bui” pada tahun 1602 yang kemudian dilanjutkan pada jaman Hindia Belanda menjadi pidana penjara.
Keberadaan pidana penjara semakin eksis dalam sistem hukum pidana di Indonesia dengan adanya unifikasi WvS di Indonesia dengan Stb. 1915-732 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918, berlakunya WvS di Indonesia ini maka secara resmi pidana penjara termasuk menjadi salah satu jenis pidana yang ada di Indonesia.
Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak yang dilakukan dengan menutup atau menempatkan terpidana didalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkanya untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga pemasyarakatan tersebut .
Sejak tahun 1964, sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.
Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G. 8/506 tanggal 17 Juni 1964.
Gagasan pemasyarakatan pertamakali dicetuskan di Indonesia oleh Dr. Sahardjo, S.H pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa di bidang Ilmu hukum Universitas Indonesia. Pidato Dr. Sahardjo tersebut berjudulkan pohon beringin pengayoman, dari pidato tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam konferensi dinas Direktorat Jendral Pemasyarakatan yang diselenggarakan di Lembang Bandung.
Konferensi tersebut memperoleh hasil berupa penggantian sistem pemenjaraan dengan sistem pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana di Indonesia : Diberlakukanya sistem pemasyarakatan yang menggantikan sistem pemenjaraan di Indonesia, secara otomatis telah mengganti proses pembinaan narapidana di Indonesia yang semula mengedepankan pembalasan berubah dengan sistem pemenjaraan lebih menekankan pada pengayoman dan pembinaan dengan memberikan bimbingan jasmani dan rohani pada narapidana.
Hal ini tentu mengubah pandangan yang menyatakan bahwa pemidanaan adalah pembalasan dendam, dalam pelaksanaan pembinaan narapdana lebih menekankan hak asasi manusia untuk mengembalikan kondisi narapidana kembali seperti sedia kala.
Istilah hak asasi manusia menurut bahasa Prancis ”droit de’home”. Menurut bahasa Inggris adalah ”human rights”. Sedangkan menurut bahasa Belanda ”memen rechten”. Secara umum hak asasi manusia diartikan sebagai hak-hak dasar yang dimiliki setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah dari tuhan Yang Maha Esa.
Artinya hak asasi ini bukan diberikan atau pemberian orang lain, golongan, atau negara. Oleh karena itu pula hak asasi manusia tidak dapat diambil atau dicabut, diabaiakan, dikurangi atau dirampas oleh suatu kekuasaan melainkan harus dihormati, dipertahankan dan dilindungi.
Senada dengan pengertian HAM di atas adalah pernyataan awal hak asasi manusia yang dikemukakan oleh John Locke. Menurut John Locke, hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati.
Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia.HAM adalah hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan .
Hak asasi manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Menurut UU ini, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat.
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan kemerdekaan Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap orang Indonesia sejak tahun 1918, waktu mulai berlaku KUHP yang sebelumnya orang Indonesia dihukum dengan kerja paksa di luar atau di dalam rantai.
Pertumbuhan dan perkembangan pidana penjara sebagai pidana (hukuman) seiring dengan pertumbuhan sistem perlakuan terhadap terhukum (narapidana) serta bangunan tempat menampung para narapidana yang dikenal dengan nama bangunan penjara atau penjara.
Penjara di Indonesia sudah dimulai sejak jaman kuno yaitu 1816, pada zaman ini pidana hilang kemerdekaan belum dikenal, pidana yang umum diterapkan adalah pidana mati, pidana siksaan badan, denda, peringatan, pembuangan, bangunan penjara yang sebenarnya juga belum ada pada masa ini.
Pidana penjara mulai dikenal di Indonesia sejak masuknya Belanda yang kemudian menerapkan Wetboek van Strafrecht (WvS) untuk golongan bangsa pribumi yang berlaku mulai 1 januari 1876, dalam WvS ini berlaku pidana mati, kerja paksa dengan rantai atau pidana pejara paling sedikit 8 hari dan denda.
Tahun 1964 di Indonesia muncul sistem pemasyarakatan yang merupakan gagasan Dr. Sahardjo, kaitanya dengan “Treatmen of Offenders”.
Konsepsi Pemasyarakatan tersebut bukan semata-mata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan merupakan suatu pembinaan, suatu metodologi dalam bidang treatmen of offenders yang “multilateral oriented”, dengan berpusat pada potensi-potensi yang ada, baik itu pada individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu keseluruhan, sehingga dapat dikatakan sistem pemasyarakatan jauh berbeda dengan yang digunakan dalam sistem berdasarkan rehabilitasi, yang mengarahkan treatmen focus nya hamper secara eksklusif kepada individu yang bersangkutan
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat.
Pemasyarakatan telah mengubah pola pikir perlakuan narapidana sebagai pelanggar hukum dari penjara menjadi pemasyarakatan, dengan pemasyarakatan maka perlakuan terhadap narapidana tidak lagi didasarkan pada aspek penjeraan atau pembalasan maupun balas dendam melainkan didasarkan pada upaya untuk mengintegrasikan kembali narapidana dalam kehidupan masyarakat.
Reintegrasi sosial merupakan bentuk pembinaan yang didasarkan pada pandangan bahwa pelanggaran hukum tejadi karena adanya ketidakharmonisan hubungan antara pelanggar hukum dengan masyarakat, oleh karena itu pemasyarakatan sebagai sebuah proses untuk memulihkan kembali hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan para pelanggar hukum.
Gagasan pemasyarakatan kemudian dilembagakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Sambutan Menteri Kehakiman RI dalam pembukaan kerja terbatas
Direktorat Jendral Bina Tuna Warga tahun 1976 menandaskan kembali prinsip-prinsip bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan yang sudah dirumuskan dalam konferensi Lembaga tahun 1964 yang terdiri atas sepuluh rumusan.
Berdasar prinsip bimbingan dan pembinaan sistem pemasyarakatan diatas menjelaskan bahwa konsep pemidanaan telah menerapkan pola pembinaan bagi narapidana dan meninggalkan pola pembalasan, narapidana bukanlah seorang penjahat dan dapat dibina agar kembali ke masyarakat seperti sedia kala Sistem pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan narapidana yang didasarkan atas asas Pancasila dan memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, Individu dan anggota masyarakat sekaligus, dalam membina narapidana dikembangkan hidup kejiwaanya, jasmaniahnya, pribadinya serta kemasyarakatanya.