Oleh: Muhammad Anshari Al Gharibi
(Penulis adalah Jurnalis dan pemerhati politik. Tinggal di Surakarta)
Masih ingatkah kita akan kejadian yang menimpa seorang mahasiswi S2 UGM beberapa waktu silam, dia adalah Floren ?. Gara-gara kicauannya di media sosial (medsos) ia harus berurusan dengan polisi bahkan sempat menginap di sel Polda DIY selama dua hari. Ia dijerat UU Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE).
Status akun jejaring sosial Path-nya yang sempat membuat heboh itu berbunyi "Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal Jogja,"
Beda halnya dengan insan pers dan praktisi hukum. Mereka mewakili komonitasnya tidak sejalan dengan sikap sekelompok orang yang melaporkan Floren ke polisi. Kasus ini ternyata menimbulkan keprihatinan mereka. Mereka khawatir kasus yang menimpa Florence akan mematikan daya kritis masyarakat. Bisa jadi seseorang yang memiliki daya kritis akan selalu berurusan dengan polisi dengan delik pencemaran nama baik dan sebagainya.
Sikap keprihatinan tersebut disuarakan AJI Yogyakarta, LBH Pers, LBH Yogyakarta, dan KMIP (Komisi Masyarakat Informasi Publik). Menurut staf LBH Pers, Masjidi kasus Florence ini dikhawatirkan menjadi pasal karet untuk menjerat anggota masyarakat lain.
Menurtu LBH Yogya pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU Informatika dan Transaksi Elektronik harus dicabut karena bertentangan dengan hak asasi manusia, yaitu kebebasan berpendapat dan dilindungi dalam pasal 28, pasal 28 E ayat 2 dan 3 UUD 1945, UU no 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU no 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak Sipil Politik.
UU ITE berpotensi disalah gunakan penguasa untuk mengkriminalisasi seseorang yang bertindak kritis. Keberanian masyarakat mengkritik penguasa bisa terkebiri dan ujung-ujungannya lahirlah penguasa otoriter yang anti kritik. Delimatik memang, bagi penyeru kebebasan khususnya kalangan pers, NGO/Non-Governmental Organization (Organisasi Non-Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat) menginginkan tidak adanya regulasi yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat namun sisi lain sering berbenturan dengan kepentingan masyarakat dan khususnya penguasa. Bagi rezim, tentunya regulasi ITE berpotensi disalah gunakan untuk "melibas" kelompok atau individu yang vokal dan berseberangan dengan kebijakannya. UU ITE bisa dibilang menjadi momok "baru" di era reformasi ini.
Adapun apa yang disebut informasi dan dokumen elektronik, telah dijelaskan dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4. Lebih lengkapanya bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 1 ayat 1 :
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 1 ayat 4 :
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Adapun salah satu pasal krusial yang perlu diwaspadai dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah :
Pasal 27 ayat 3:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Ancaman pidana bagi mereka yang memenuhi unsur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar sebagaimana dijelaskan dalam Bab XI pasal 45 ayat 3 yang bunyinya:
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidanan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tidak hanya Florens saja yang telah menjadi korban UU ITE tersebut masih banyak korban lain yang tidak terekspost kepermukaan. Siapapun bisa terjerat UU ITE ini apalagi bila menyinggung atau mengkritisi rezim tentu akan sangat mudah untuk di"ciduk" aparat. Ironis memang, era reformasi yang digadang-gadang mampu melahirkan rezim yang lebih terbuka, tidak refresif ternyata tak jauh beda dengan rezim Orde Baru. Akankah kita mundur kebelakang lagi?.