Penulis :
Drs. M. Sofyan Lubis, SH. MM
Senior Partners di LHS & PARTNERS
Penulis dan Pemerhati Masalah Hukum
di Negara Indonesia
Dalam proses penegakan hukum pidana pada kenyataannya sering terjadi orang ditangkap dan ditahan tanpa adanya surat perintah penangkapan dan/atau penahanan, bahkan proses penangkapannya sering pula dilakukan tanpa mengindahkan hak-hak asasi manusia, atau melanggar pasal 18 ayat (1) UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, terkait asas praduga tak bersalah, yang berbunyi ;
”Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” dan berdasarkan pasal 4 UU yang sama, setiap orang memiliki ”hak untuk tidak disiksa” dalam penegakan hukum. Dan dalam pasal 9 ayat (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pejabat yang melanggar ketentuan tersebut di atas bukan lagi dapat dipidana akan tetapi ”dipidana”.
Seperti yang kita ketahui Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang : a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; b) Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; dan c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan ;Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Sejauh ini di dalam praktiknya hak tentang Praperadilan tersebut hanya dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Kita tidak pernah mendengar bahwa Kepolisian mempraperadilankan Kejaksaan tentang sah tidaknya Penghentian Penuntutan terhadap tersangka/terdakwa, atau sebaliknya pihak Kejaksaan mempraperadilankan pihak Kepolisian tentang sah tidaknya Penghentian Penyidikan.
Perlu untuk diketahui oleh masyarakat pada umumnya dan Penegak Hukum pada khususnya bahwa pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan begitu juga sebaliknya pasal tersebut juga memberi hak kepada Kejaksaan untuk mempraperadilankan Kepolisian. Jika suatu perkara pidana sudah di SPDP (P.16) dari Kepolisian ke Kejaksaan dan dalam perkembangannya menurut penilaian pihak Kejaksaan kasus tersebut telah memenuhi syarat untuk dilakukan penuntutan, namun ditengah jalan tiba-tiba pihak Kepolisian mengeluarkan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penyidikan) terhadap kasus tersebut maka demi tegaknya hukum dan keadilan seharusnya upaya akhir yang ditempuh pihak Kejaksaan adalah melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian ke Pengadilan Negeri. Begitu juga jika suatu perkara telah dinyatakan cukup bukti oleh pihak Kejaksaan (P.21) dan/atau telah perkara tersebut telah dilimpahkan dari Kepolisian kepada Kejaksaan, namun ditengah jalan tiba-tiba Kejaksaan mengeluarkan SP3 (Surat Penetapan Penghentian Penuntutan), maka seharusnya demi tegaknya hukum dan keadilan pihak Kepolisian harus berani melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri.
Namun dalam praktiknya hal semacam itu sangat sulit terjadi karena masing-masing pihak berusaha saling menjaga hubungan baik atas dasar pertimbangan rasa segan sesama aparat dan/atau adanya rasa saling membutuhkan dalam system kerja dan/atau adanya rasa “saling pengertian”. Dan kondisi semacam ini jika dibiarkan terus tanpa ada upaya untuk memperbaiki agar sesama penegak hukum tercipta budaya saling kontrol, maka iklim semacam ini pada gilirannya akan menganggu upaya penegakan supremasi hukum di negara kita ini. Dalam negara hukum yang berusaha menegakkan supremasi hukum sangat diperlukan suatu lembaga kontrol yang independen yang salah satu tugasnya mengamati/mencermati terhadap sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan suatu perkara pidana atau sah tidaknya alasan penghentian penuntutan suatu perkara pidana baik itu dilakukan secara resmi dengan mengeluarkan SP3, apalagi yang dilakukan secara diam-diam..
Di samping itu diharapkan juga pihak Kepolisian dapat mengontrol kinerja Kejaksaan apakah perkara yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan. Begitu juga pihak Kejaksaan diharapkan dapat mengontrol kinerja Kepolisian di dalam proses penanganan perkara pidana apakah perkara yang sudah di SPDP (P.16) ke Kejaksaan yang dinilai telah cukup bukti pada waktunya benar-benar dilimpahkan oleh Penyidik ke Kejaksaan atau berhenti secara diam-diam. Di dalam era supremasi hukum ini Kepolisian harus berani mempraperadilankan pihak Kejaksaan jika suatu perkara yang telah dinyatakan cukup bukti (P.21) atau tahap 2, ternyata perkara tersebut tidak jadi dilimpahkan ke Pengadilan. Begitu juga sebaliknya. dan berbicara upaya prapradilan kayaknya ini hanya dapat diandalkan kepada pihak Advokat/Pengacara, sebagai penegak hukum yang independen. Yang jelas Praperadilan bukan hanya hak dari tersangka atau keluarga tersangka, tapi juga merupakan hak dari Kepolisian dan Kejaksaan. (sumber:http://artikel.kantorhukum-lhs.com/upaya-pra-peradilan-di-indonesia)