Solo - Profesi advokat memiliki resiko yang sangat tinggi. Bahkan, tak jarang selain berselisih dengan orang berpengaruh terkadang pula justru bergesekan dengan klien mereka sendiri. Sehingga kasus yang mereka tangani justru semakin kabur dan samar.
Menyikapi kasus-kasus tersebut, Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Solo, M Badrus Zaman mengatakan, seorang advokat harus menjunjung tinggi kode etik profesi yang mereka tekuni. Setiap pekerjaan apapun pasti memiliki resiko termasuk profesi yang dianggap nyaman sekalipun.
“Seorang advokat harus mampu memberikan rasa aman dan tenang kepada klien yang terjerat masalah hukum,” jelas Badrus saat berbincang dengan wartawan, Senin (14/12).
Perselisihan yang terjadi antara pelapor dan terlapor dalam suatu kasus, kata Badrus adalah hal yang wajar untuk menemukan kebenaran diantara dua orang/pihak yang bersengketa. Namun, ketika dalam proses permasalan tersebut timbul permasalahan lain seperti pemutusan sepihak oleh dari pihak klien maka seorang advokat harus langsung tanggap. Apa yang ada dibalik hal tersebut. Atau, apakah dirinya membuat kesalahan yang mengakibatkan kliennya itu kurang berkenan.
“Tak jarang kasus seperti ini terjadi. Artinya, ketika kita membela seorang klien justru klien kita sendiri tidak kooperatif atau malah memutus kontrak sepihak. Disaat inilah kita harus langsung instropeksi atau melakukan evaluasi secara internal,” kata Ketua Peradi yang baru dilantik tersebut.
Jika menghadapi gesekan tersebut, lanjut Badrus, seorang advokat sebenarnya memiliki hak untuk memperkarakan pemutusan sepihak. Namun, hal tersebut harus dipikirkan secara matang. Karena akan berimbas pada nama baik advokat itu sendiri.
“Gesekan antara advokat dengan klien seperti ini banyak terjadi dalam kasus perdata,” jelasnya.
Meski begitu, kata Badrus, ketika klien memutus surat pernyataan kerjasama secara sepihak harusnya mereka menyelesaikan pembayaran atas jasa yang telah dikeluarkan oleh seorang advokat. Sehingga, tidak timbul “buntut” lain dikemudian hari.
“Pembayaran juga harus jelas. Sejauh mana upaya yang dilakukan oleh pengacara terhada kliennya itu berdasarkan isi surat pernyataan,” terangnya.
Pihaknya berharap, semoga ke depan ikatan antara klien maupu advokat semakin solid dan baik. Sehingga, tidak terdapat gesekan manakala menghadapi suatu kasus hukum.
“Ketika mendapat seorang klien, advokat harus selektif dalam menerima. Jika klien tersebut bermasalah maka hendaknya untuk menolak. Sehingga tidak terjadi masalah ketika kasus itu bergulir,” kata Badrus.
Sumber : timlo.net
Menyikapi kasus-kasus tersebut, Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Solo, M Badrus Zaman mengatakan, seorang advokat harus menjunjung tinggi kode etik profesi yang mereka tekuni. Setiap pekerjaan apapun pasti memiliki resiko termasuk profesi yang dianggap nyaman sekalipun.
“Seorang advokat harus mampu memberikan rasa aman dan tenang kepada klien yang terjerat masalah hukum,” jelas Badrus saat berbincang dengan wartawan, Senin (14/12).
Perselisihan yang terjadi antara pelapor dan terlapor dalam suatu kasus, kata Badrus adalah hal yang wajar untuk menemukan kebenaran diantara dua orang/pihak yang bersengketa. Namun, ketika dalam proses permasalan tersebut timbul permasalahan lain seperti pemutusan sepihak oleh dari pihak klien maka seorang advokat harus langsung tanggap. Apa yang ada dibalik hal tersebut. Atau, apakah dirinya membuat kesalahan yang mengakibatkan kliennya itu kurang berkenan.
“Tak jarang kasus seperti ini terjadi. Artinya, ketika kita membela seorang klien justru klien kita sendiri tidak kooperatif atau malah memutus kontrak sepihak. Disaat inilah kita harus langsung instropeksi atau melakukan evaluasi secara internal,” kata Ketua Peradi yang baru dilantik tersebut.
Jika menghadapi gesekan tersebut, lanjut Badrus, seorang advokat sebenarnya memiliki hak untuk memperkarakan pemutusan sepihak. Namun, hal tersebut harus dipikirkan secara matang. Karena akan berimbas pada nama baik advokat itu sendiri.
“Gesekan antara advokat dengan klien seperti ini banyak terjadi dalam kasus perdata,” jelasnya.
Meski begitu, kata Badrus, ketika klien memutus surat pernyataan kerjasama secara sepihak harusnya mereka menyelesaikan pembayaran atas jasa yang telah dikeluarkan oleh seorang advokat. Sehingga, tidak timbul “buntut” lain dikemudian hari.
“Pembayaran juga harus jelas. Sejauh mana upaya yang dilakukan oleh pengacara terhada kliennya itu berdasarkan isi surat pernyataan,” terangnya.
Pihaknya berharap, semoga ke depan ikatan antara klien maupu advokat semakin solid dan baik. Sehingga, tidak terdapat gesekan manakala menghadapi suatu kasus hukum.
“Ketika mendapat seorang klien, advokat harus selektif dalam menerima. Jika klien tersebut bermasalah maka hendaknya untuk menolak. Sehingga tidak terjadi masalah ketika kasus itu bergulir,” kata Badrus.
Sumber : timlo.net